Pengertian Humanisme dan Humanisme Islam

Pengertian Humanisme

Humanisme merupakan sebuah topik yang “licin”, di mana kata itu bukanlah sebuah istilah dengan pengertian tunggal yang mudah disepakati. Bahkan, orang kebanyakan di Indonesia menganggap istilah ini sesuatu yang asing yang dicangkokkan ke dalam bahasa Indonesia (Hardiman, 2012: 1). Namun demikian, dari sekian pendapat terdapat kesamaan pengertian mengenai humanisme, yakni sebagai diksi yang disepakati dalam gerakan pemuliaan manusia (Rahman, 2011: 105).

Akar kata humanisme secara harfiah adalah humanista (Latin) yang senada dengan kata humble (kesederhanaan dan kerendahan hati/ kesahajaan), dan kata humus (tanah atau bumi). Dari sini kemudian muncul kata homo yang berarti manusia (makhluk bumi) dan humanus yang lebih menunjukkan sifat membumi dan manusiawi. Lawan dari pemaknaan istilah itu, pada awalnya adalah makhluk lainnya yang bukan manusia (binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan) dan termasuk makhluk luar angkasa dan dewa-dewa (Davies, 2008: 126). Humanisme menunjuk pada tabiat-kodrati (human nature), perasaan-batini (feeling), dan kebaikan hati (kindness) manusia (Reese, 1980: 235), serta berdiri di atas bangunan “filsafat manusia” yang ekstensif, intensif, dan kritis dalam memahami seluruh aspek manusia (Abidin, 2011: 7).

Lorens Bagus (2005: 295-296) mendefinisikan humanisme sebagai aliran filsafat yang menganggap individu rasional sebagai nilai paling tinggi dan sumber nilai terakhir untuk memupuk perkembangan kreatif dan moral manusia secara rasional dan tanpa acuan dari konsep-konsep adikodrati. Sejalan dengan itu, David Jary dan Julia Jary (1991: 218) mengartikan humanisme sebagai gerakan psikologis dan sosiologis untuk mengangkat setinggi-tingginya kemampuan individu dalam rangka menunjukkan potensi kemanusiaannya. Sehingga untuk memahaminya diperlukan landasan pemahaman tentang nilai-nilai kemanusiaan, empati, serta penerimaan atas kompleksitas dari keunikannya dalam kehidupan nyata. Adapun Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994: 361), yang dalam tradisi positifistik-formalistik kerapkali dijadikan rujukan “resmi” dan dianggap “mewakili” banyak kalangan di Indonesia, humanisme didefinisikan sebagai aliran filsafat yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik. Pelakunya disebut humanis, yaitu orang/ kelompok yang mendambakan dan memperjuangkan terwujudnya kepentingan sesama umat manusia berdasar pada asas-asas kemanusiaan. Dengan demikian, sebagaimana disimpulkan Collins dan Farrugia (2003: 107) dalam menarik benang merah pengertian humanisme, setiap aliran atau gerakan yang menghargai budi, kebebasan, dan martabat manusia serta kemampuannya untuk belajar dan mengembangkan seluruh kebudayaannya dapat didefinisikan dalam pengertian humanisme

Pengertian kata humanisme selanjutnya memiliki arti ganda. Pada satu sisi, ia berarti gerakan untuk menghidupkan ilmu-ilmu kemanusiaan atau biasa disebut “humaniora”. Pada sisi lain, ia berarti sebuah “gerakan filsafat” untuk menekankan sentralitas manusia. Dalam pengertian pertama, humanisme adalah sebuah upaya untuk menghidupkan kembali karya-karya klasik, khususnya karya-karya Yunani (seperti tata bahasa, retorika, puisi, sejarah, dan filsafat moral). Dalam pengertiannya yang kedua, humanisme adalah sebuah bentuk protes terhadap elitisme filsafat (agama) yang hanya peduli pada tema-tema abstrak yang tidak punya dampak langsung kepada masyarakat dan mengabaikan persoalan-persoalan nyata yang dihadapi manusia (Lorens Bagus, 2005: 295-296).

Perkembangan pengertian humanisme di atas membuka peluang ke arah ateisme di satu sisi, dan religiusitas teistik di sisi lain. Sehingga, humanisme bukan sekadar gerakan kultural humaniora maupun sebuah gerakan filsafat, melainkan keyakinan reflektif atas nilai-nilai paling dasar dan naluriah yang inheren dalam proses kehidupan manusia yang konkrit (Munir, 2005: 2-3). Humanisme kemudian mengalami pendalaman pemaknaan yang lebih bahwa manusia harus dihormati sebagai personal, sebagai manusia dalam arti sepenuhnya, bukan karena ia pintar atau bodoh, baik atau buruk, serta tidak tergantung dari daerah asal-usulnya, komunitas etnik, negara, agama, dan jenis kelaminnya (Magnis Suseno, 2002: 37). Dengan demikian, humanisme dapat diartikan sebagai keyakinan mendasar yang diperlukan untuk mengukur validitas dan kebenaran setiap sistem nilai, kepercayaan, otoritas dan hukum, berdasarkan pada kemanusiaan.    

Pengertian Humanisme

   

Humanisme Islam

Islam sendiri memang tidak memiliki sebutan khusus untuk menamakan agenda massif pemuliaan manusia dan pengembangan ilmu pengetahuan kecuali konsepsi “insaniyyah”. Kata insaniyyah berasal dari kata insan yang mendapat akhiran iyyah (huruf ya’ nisbat sebagai pengkategorian). Kata insan—yang juga mencakup makna basyar, bani Adam, dan dzurriyyah Adam—menunjukkan arti manusia dengan seluruh totalitasnya; jiwa dan raga. Perbedaan antara manusia yang satu dengan lainnya disebabkan oleh perbedaan fisik, mental, dan kecerdasannya. Kata insan menunjuk manusia yang memiliki sikap sebagai akibat kesadaran penalaran sehingga jinak dan bisa menyesuaikan dengan realitas hidup dan lingkungannya (Quraish Shihab, 1996: 278-280). Insan adalah manusia yang ditunjukkan oleh dirinya karena kemampuannya menggunakan akal-budi dan mewujudkan pengetahuan konseptualnya dalam kehidupan konkrit. Kegiatan manusia pada dasarnya merupakan kegiatan yang disadari (Musa Asy’ari, 1992: 30).

Insaniyyah inilah yang dalam Islam dimaksudkan sebagai konsep yang memperjuangkan kemuliaan manusia. Sebagaimana didefinisikan Ma’luf (1998: 19), insaniyyah berarti “perihal yang dikhususkan untuk manusia, di mana kebanyakan penggunaannya untuk hal-hal terpuji, seperti kedermawanan dan kemuliaan budi” (ma ikhtashsha bihi al-insan katsura isti’maluha li al-mahamid min nahw al-jud wa karam al-akhlaq). Itu sebabnya, istilah insaniyyah ini merupakan kata bahasa Arab yang merupakan sinonim dari kata humanisme, yang ketika dikaitkan dengan kejayaan keilmuan Islam pada abad 9-10 M disebut oleh M. A. Boisard (1980), G. A. Makdisi (2005), L.E. Goodman (2003), dan K. Sohail (2001) sebagai “humanisme Islam” (Islamic humanism).

Humanisme Islam sesungguhnya adalah humanisme yang berpijak pada ajaran Islam, yakni yang terdapat dalam al-Qur’an, bukan berdasar pada filsafat Yunani dan Romawi Kuno atau akibat pengaruh Barat (Rahman, 2011: 54). Dari sini muncul pertanyaan; bagaimana dari sumber pokok ajaran Islam, yaitu al-Qur’an yang global dan tidak mengajarkan tata berpikir secara rinci, bisa melahirkan sistem berpikir yang baik dan rasional? Menurut Gardet dan Anawati (Soleh, 2012: 21-24), kemunculan sistem berpikir rasional dalam humanisme Islam didorong oleh tiga kejadian besar. Pertama, kemunculan madzhab-madzhab bahasa (ilmu nahw) lantaran adanya kebutuhan mendesak untuk memahami ajaran al-Qur’an dengan baik dan benar. Meski al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, tetapi tidak semua kalimatnya dapat dengan mudah dipahami oleh orang Arab sendiri saat itu. Kedua, munculnya madzhab-madzhab fiqh karena persoalan yang muncul pasca Nabi dan era Sahabat tidak ditemukan rujukan nashnya. Penggunaan rasio kemudian menduduki perdebatan fiqhiyah, khususnya pada kalangan pendukung maupun penolak penggunaan rasio (ra’y). Dan ketiga, perlawanan terhadap filsafat Yunani yang masuk ke dalam dunia Islam melalui penerjemahan buku-buku Yunani Kuno. Usaha penerjemahan ini, terutama buku-buku filsafat Aristoteles (384-322 SM), menjadikan logika, fisika, dan metafisika Yunani membanjiri kehidupan umat Islam saat itu dan menemukan momentumnya dengan keberanian yang luar biasa yang dikategorikan dalam istilah zindiq. Atas hal ini, para ulama masuk dalam perjuangan melawan penyimpangan tersebut yang kemudian memunculkan sistem berpikir rasional “khas Islam”. Pada gilirannya, pemikiran rasional Islam ini semakin mengental dan menjelma menjadi teologi Muktazilah.

Humanisme Islam “menemukan” manusia di antara perpaduan wahyu dan rasio. Inilah yang menjadi titik perbedaan humanisme Islam dengan humanisme Barat, meskipun terdapat kesamaan dalam tujuan pengarusutamaan kemanusiaan. Gerakan humanisme Islam adalah konsekuensi dan perluasan dari institusi-institusi penyebaran agama, berkebalikan dengan humanisme Barat yang justru merupakan perlawanan terhadap lembaga-lembaga agama. Itu sebabnya, ateisme adalah gagasan yang asing bagi para filsuf dan sarjana Muslim (Assyaukanie, 2009: 4).

Humanisme Islam menegaskan peran manusia sebagai “wakil” Tuhan di muka bumi (khalifah Allah fi al-Ardl) (QS. al-Isra’ [17]: 70), bukan sebagai “manusia-promethean” yang berebut kekuasaan dengan Tuhan. Dalam pandangan manusia sebagai khalifah, manusia tidak ditempatkan saling berhadapan dengan Allah, tetapi bergantung kepada-Nya (Allah al-shamad) (QS. al-Ikhlash [112]: 2). Allah juga sebagai tempat darimana manusia berasal dan ke mana juga tempat manusia akan berpulang (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un). Di sisi lain, tentunya, manusia sebagai khalifah juga dikaruniai Tuhan akal-budi untuk memilih yang benar (haq) dan yang salah (bathil) (Abdalla, 1999: 169).

Sejak semula manusia dan kemanusiaannya telah diikat dalam suatu perjanjian primordial dengan Tuhan berupa pengakuan akan keesaanNya (QS. al-Rum [30]: 30). Itu sebabnya, keyakinan tentang Tuhan adalah hak setiap individu manusia tanpa kecuali (Quraish Shihab, 2005: 25). Murtadha Muthahhari (2012: 77) bahkan menegaskan bahwa dalam hakikatnya tidak ada satu pun manusia yang mengingkari Tuhan, yang ada hanyalah mereka yang salah jalan dan tersesat. Tuhan yang dicintainya masih “tersembunyi” di balik sesuatu materi yang dicintainya. Karena itu pula, tidak ada paksaan dalam agama (QS. al-Baqarah [2]: 256).

Humanisme Islam menentang diskriminasi dalam bentuk peminggiran status dan peran manusia, apapun latar belakangnya. Manusia dilahirkan dalam keadaan fithrah (suci) dan merdeka. Itu sebabnya, manusia dipandang dengan arti persamaan derajat (musawah) tanpa membedakan etnik, ras, jenis kelamin, pola pemikiran, dan golongan (Masdar, 2003: 36-38). Di hadapan Allah, hanya “prestas ketakwaan” yang membedakan mereka antara satu dengan lainnya (QS. al-Hujurat [49]: 13) (Qodri Azizy, 2000: 182).

Secara keseluruhan, humanisme Islam memuliakan manusia di atas “lima hak dasar” atau “lima prinsip umum” yang disebut al-kulliyat al-khams (lima hak-hak dasar). Lima hal prinsip/ dasar ini merupakan tujuan utama beragama (maqashid al-syari’ah). Kelima prinsip ini adalah: menjaga kemuliaan keyakinan (hifdz al-din), menjaga keselamatan jiwa (hifdz al-nafs), menjaga kebebasan berpikir (hifdz al-‘aql), menjaga kelestarian keturunan (hifdz al-nasl), dan menjaga keabsahan materi (hifdz al-mal) (Al-Ghazali, 2000: 250; Khallaf, 1987: 200-205). Sebagian kalangan humanis-Islam lebih “menomorsatukan jiwa manusia” sebagai inti dari lima prinsip tersebut. Sikap semacam ini di antaranya terlihat dari Hassan Hanafi (2004: 92) dan Abdurrahman Wahid (2007: 375) sebagai berikut: Pertama, hifdz al-nafs, yaitu melindungi hak-hak dasar kemanusiaan bagi keselamatan jiwa-raga. Kedua, hifdz al-din, yakni perlindungan terhadap hak keselamatan keyakinan. Orang tidak bisa dipaksa untuk mengikuti suatu keyakinan, tetapi boleh berkeyakinan menurut pilihannya sendiri dalam hal agama. Ketiga, hifdz al-‘aql, yakni terjaminnya hak dasar berupa kebebasan dalam berpikir dan berpendapat, termasuk mengenai pemahaman keagamaan. Keempat, hifdz al-nasl, yaitu perlindungan hak dasar dalam kesucian berketurunan dan keselamatan keluarga. Dan kelima, hifdz al-mal, yaitu perlindungan terhadap hak dasar kepemilikan harta-benda dan profesi/ pekerjaan. Dengan kata lain, humanisme Islam adalah perlindungan hidup, agama, rasio, keturunan, dan harta atas dasar-dasar ajaran Islam. Tuntutan-tuntutan dasar itu merupakan sendi-sendi bagi penyangga kehidupan kemanusiaan.

Menurut kategorisasi M. Arkoun (2008: 65-68), humanisme Islam terpetakan dalam 3 (tiga) bentuk. Pertama, humanisme literer. Humanisme ini membangun pola pikirnya melalui dan berdasar literatur atau teks, yang lazimnya juga didukung oleh kekuasaan beserta ideologinya. Konsekuensinya, karakter humanisme ini di samping tidak mampu objektif juga ahistoris dan tidak kontekstual. Rujukan yang hanya semata literer menjauhkan pemahaman dari latar historis dan persoalan riil manusia. Akibat terbebani oleh ideologi dominan, hasil ijtihad yang semula historis-antropologis dibentuk oleh humanisme literer menjadi normatif-teologis semata, sehingga menjadi antikritik, dogmatis, rigid, ahistoris dan garang. Bagi Abdullah (2001: 372), humanisme literer versi Arkoun ini tidak ubahnya epistemologi bayani versi al-Jabiri yang menjadikan akal sebagai “pelayan” teks.

Kedua, humanisme religius. Humanisme ini merupakan sebuah konsepsi yang mengukur kesalehan seseorang dari parameter esoterik-mistik (tasawuf) untuk “melawan” tradisi humanisme literer yang ortodoks. Model humanisme religius lebih mengandalkan aspek intuitif-persepsif (dzawq) secara subjektif dalam pengalaman keagamaan seseorang daripada ketergantungan atas teks. Sistem irfani menjadi basis epistemologis dalam mewujudkan akhlaq karimah dan meyakini sebuah kebenaran. Namun demikian, menurut Fazlurrahman (1989: 376-378), yang perlu menjadi catatan di sini adalah terabaikannya persoalan kemanusiaan karena humanisme religius lebih banyak bersifat eskapistik, yakni pelarian agamis dari permasalahan dunia dan massa yang tertindas.

Ketiga, humanisme filosofis. Humanisme ini hendak memberi otonomi yang besar kepada manusia untuk mengoptimalkan kecerdasan akalnya, sambil di saat bersamaan menyeimbangkan kedua bentuk humanisme sebelumnya. Humanisme literer yang terlalu tekstualis-literalis mengakibatkan sisi-sisi historis-antropologis tersisihkan. Sedangkan humanisme religius yang meskipun telah mengoptimalkan spiritualitas manusia namun seringkali mengabaikan sisi sosio-kulural-politis kehidupan riil manusia. Untuk itu, humanisme filosofis dengan episteme burhaninya hendak menjadi perimbangan (equilibrium) antara 3 (tiga) wilayah; provanitas dunia yang sekuler, humanitas manusia yang antropologis-historis, dan Tuhan yang teologis. Perimbangan yang dimaksud disebut “teo-antropologis” yang mencakup wilayah transenden dan empirisme sosial.

Namun disayangkan oleh Arkoun (1996: 13), apa yang semula seharusnya dalam wilayah “yang terpikirkan” (mufakkar fih/ thinkable), oleh pengikut madzhab tekstualis dianggap wilayah “yang tidak terpikirkan” (la mufakkar fih/ unthinkable). Atau wacana yang semestinya interpretable dan kontekstual menjadi wacana yang dogmatis-sakral dan semata-mata teologis serta harus diterima tanpa reserve (bila kayf). Pemahaman semacam inilah yang disebut Arkoun sebagai taqdis al-afkar al-diniyyah (sakralisasi pemikiran keagamaan) yang dalam konteks ini menjadi tantangan humanisme.

Daftar Pustaka


Abdalla, Ulil Abshar, 1999, Membakar Rumah Tuhan; Pergulatan Agama Privat dan Publik, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Abidin, Zainal, 2011, Filsafat Manusia; Memahami Manusia Melalui Filsafat, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011.
Assyaukanie, Luthfi, 2009, “Membaca Kembali Humansime Islam”, Makalah Kuliah Umum, disampaikan di Komunitas Salihara, Jakarta, 27 Juni 2009.
Asy’ari, Musa, 1992, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Qur’an, Yogyakarta: LESFI.
Azizy, Ahmad Qodri A., 2000, Islam dan Permasalahan Sosial: Mencari Jalan Keluar, Yogyakarta: LKiS.
Bagus, Lorens, 2005, Kamus Filsafat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Collins, SJ, Gerald & Edward G. Farrugia, SJ, 2003, Kamus Teologi, terj. I. Suharyo, Pr., Yogyakarta: Kanisius.
Davies, Tony, 2008, Humanism; Second Edition, London: Routledge.
Fazlurrahman, 1989, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Penerbit Pustaka.
Jary, David & Julia Jary, 1991, The HarperCollins Dictionary of Sociology, New York: HarperCollins Publisher.
Munir, Miftahul, 2005, Filsafat Humanisme Teistik Menurut Kahlil Gibran;, Yogyakarta: Paradigma.
Rahman, Musthafa, 2011, Humanisasi Pendidikan Islam; Plus-Minus Sistem Pendidikan Pesantren, Semarang: Walisongo Press.
Reese, L. William, 1980, Dictionary of Philosophy and Religion; Estern and Western Thought, New Jersey: Humanity Press.
Shihab, M. Quraish, 1996, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan.
Soleh, A. Khudori, 2003, “Hassan Hanafi; Hermeneutika Humanistik”, dalam A. Khudori Soleh (ed), Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta: Jendela.
Suseno, Franz Magnis, 1999, Pemikiran Karl Marx; dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: Penerbit Gramedia.


Karya: Nur Kholis, S.H.I., M.S.I. dalam Jurnal Isti'dal vol.1 no. 1 2014
Tag : Artikel
0 Komentar untuk "Pengertian Humanisme dan Humanisme Islam"

Back To Top