Pengertian Anak Angkat menurut Hukum Islam dan Hukum Positif

Istilah anak angkat atau pengangkatan anak berkembang di Indonesia sebagai terjemahan dari bahasa Inggris “adoption”  yang telah mengalami proses asimilasi ke dalam bahasa Indonesia menjadi “adopsi” (mengangkat anak) yang berarti mengangkat anak orang lain untuk dijadikan anak sendiri dan mempunyai hak yang sama dengan anak kandung.

Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah pengangkatan anak disebut juga dengan istilah “adopsi” yang berarti pengambilan (pengangkatan) anak orang lain secara sah menjadi anak sendiri (Ensiklopedia Hukum Islam, 1996, VI: 27).

Dalam bahasa Arab pengangkatan anak dikenal dengan kata tabanni, sama dengan ittakhadza ibna yang berarti mengambil anak. Pada saat Islam disampaikan  oleh Nabi Muhammad SAW pengangkatan anak telah menjadi tradisi di kalangan mayoritas masyarakat Arab yang dikenal dengan istilah tabanni yang berarti mengambil anak angkat. Rasulullah sendiri mempunyai anak angkat yaitu Zaid bin Haritsah. Zaid bin Haritsah pernah juga dinikahkan oleh Rasulullah dengan Zainab binti Jahsy namun akhirnya bercerai. Dan Rasulullah sendiri diperintah oleh Allah menikah dengan Zainab binti Jahsy, bekas istri anak angkatnya itu.

Pengertian Anak Angkat

Secara terminologis tabanni menurut Wahbah al-Zuhaili adalah pengangkatan anak yang dilakukan oleh seseorang terhadap anak yang jelas nasabnya kemudian anak itu dinasabkan kepada dirinya. Dalam pengertian lain, tabanni adalah seseorang baik laki-laki maupun perempuan yang dengan sengaja menasabkan seorang anak kepada dirinya padahal anak tersebut sudah punya nasab yang jelas pada orang tua kandungnya (Alam dan M. Fauzan, 2008: 20).

Anak Angkat menurut Hukum Positif

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1 ayat 9 memberikan pengertian bahwa anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

Kemudian dalam Peraturan Pemerintah No. 54 Th. 2007 Pasal 1 ayat 1 dengan redaksi bahasa yang sama menyebutkan bahwa anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan.

Anak Angkat menurut Kompilassi Hukum Islam (KHI)


Di samping itu dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan redaksi yang sedikit berbeda mendefinisikan anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan (KHI Pasal 171 huruf h).

Dari berbagai pengertian tersebut di atas dapat dipahami bahwa pengangkatan anak ada dua pengertian, yaitu pengangkatan anak yang tidak memutus nasab dengan orang tua kandung dan yang kedua pengangkatan anak dengan memutus nasab orang tua kandung. Hal ini dapat disimak pendapat Mahmud Syaltut yang mengemukakan bahwa setidaknya ada dua pengertian “pengangkatan anak”. Pertama, mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, tanpa diberikan status anak kandung kepadanya. Cuma ia diperlakukan oleh orang tua angkatnya sebagai anak kandung sendiri. Kedua, mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan ia diberi status sebagai anak kandung, sehingga ia berhak memakai nama keturunan (nasab) orang tua angkatnya dan saling mewarisi harta peninggalan, serta hak-hak lain sebagai akaibat hukum antara anak nagkat dan orang tua angkatnya itu (Ensiklopedia Hukum Islam, 1996, VI: 29).

Jika diperhatikan dari pengertian-pengertian yang dikemukakan para ahli tersebut suatu prinsip persamaan dan perbedaan. Persamaan dari dua jenis pengertian tersebut adalah dari aspek perlindungan dan kepentingan anak serta pengalihan tanggung jawab, seperti pemeliharaan, pengasuhan, kasih sayang, pendidikan, masa depan dan kesejahteraan anak. Titik perbedaannya terletak pada penentuan nasab dengan segala akibat hukumnya. Anak angkat yang tidak dinasabkan kepada orang tua angkatnya tidak berhak waris mewarisi, menjadi wali dan lain sebagainya. Sedang anak angkat yang dinasabkan dengan orang tua angkatnya berhak saling mewarisi, menjadi wali, dan hak-hak lain yang dipersamakan dengan anak kandung. Pengertian yang pertama ini sejalan dengan ketentuan hukum Islam sebagaimana
yang terdapat dalam QS. Al-Maidah [5]:2:
وتعاونوا على البر والتقوى ولا تعاونوا على الإثم والعدون
“Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS. Al-Maidah [5]:2).


Anak angkat dalam pengertian kedua telah lama dikenal dan berkembang di berbagai negara tidak terkecuali di Indonesia sebagaimana yang diterapkan oleh Pengadilan Negeri terhadap permohonan pengangkatan anak bagi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa dan bagi mereka yang menundukkan diri pada hukum tersebut. Pengertian yang kedua atau yang terakhir ini bertentangan dan dilarang oleh Islam sebagaimana yang tersebut dalam QS. Al-Ahzab [33]:4-5:

ما جعل الله لرجل من قلبين فى جوفه وما جعل أزوجكم الئ تظهرون منهن أمهتكم وماجعل أدعياءكم أبناءكم ذلكم قولكم بأفوهكم والله يقول الحق وهو يهدى السبيل ٤ ادعوهم لأبائهم هو أقسط عند الله فإن لم تعلموا أباءهم فإخونكم فى الدين وموليكم وليس عليكم جناح فيما أخطأتم به ولكن ماتعمدت قلوبكم وكان الله غفورا رحيما ٥

  “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Al-Ahzab [33]:4-5).

Ayat (4) berisi larangan anak angkat dijadikan sebagai anak kandung, dan ayat (5) mengenai panggilan anak angkat dilarang mencantumkan “bin/binti” dengan nama orang tua angkat, sebaliknya harus dipanggil dengan nama orang tua kandungnya sendiri. Dari pengertian yang pertama tersebut, yaitu pengangkatan anak yang tidak memutus nasab dengan orang tua kandung, hanya menentukan beralih tanggung jawab dari orang tua kandung kepada orang tua angkat, inilah yang akan dijadikan acuan pembahasan lebih lanjut dalam tulisan ini.


Tag : Hukum
0 Komentar untuk "Pengertian Anak Angkat menurut Hukum Islam dan Hukum Positif"

Back To Top